zmedia

Perang Kamang 1908

Perang Kamang adalah perang yang terjadi antara rakyat Sumatera Barat dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda di daerah Nagari Kamang Kabupaten Agam pada tahun 1908 akibat penerapan pajak (belasting).

Daerah Kamang terletak sekitar 16 km dari benteng Fort de Kock (Bukittinggi). Daerah ini pada masa Perang Padri menjadi basis kekuatan Tuanku Nan Renceh.

Latar Belakang Perang Kamang 1908

Perang Kamang disebut juga dengan perang Belasting, yaitu perang bersenjata pada Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatera Barat dengan pemerintah Kolonial Hindia Belanda akibat penerapan pajak (belasting) langsung kepada masyarakat. Kebijakan ini sangat memberatkan rakyat dan dianggap sewenang-wenang karena tidak melibatkan musyawarah dengan pemimpin adat setempat.

Perang ini diawali dengan gerakan protes oleh petani terhadap pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas pajak tanah termasuk pajak atas hewan ternak yang dibebankan kepada mereka. Pajak ini sangat membebani rakyat, khususnya para petani, dan menimbulkan keresahan luas.

Meletusnya Perang Kamang 1908

Masyarakat Kamang menolak pembayaran pajak tersebut dan kemudian pada 15-16 Juni 1908 puncaknya pecah perang bersenjata antara masyarakat dengan pemerintah kolonial. 

Syekh H. Abdul Manan menjadi tokoh utama dalam perwanan ini. Ia gugur dalam pertempuran, sementara putranya, H. Ahmad Marzuki, ditangkap oleh Belanda.

Perang ini menelan korban jiwa yang cukup besar, hampir 100 orang dari masyarakat gugur, kebanyakan tertembak. Sementara dari pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda, 12 orang tentara tewas, dan sekitar 20 lainnya luka-luka.

Perang Kamang adalah perang yang terjadi antara rakyat Sumatera Barat dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda di daerah Nagari Kamang Kabupaten Agam pada tahun 1908 akibat penerapan pajak (belasting).
Gambar. Makam Pahlawan Perang Kamang 1908

Perang ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga kisah-kisah yang menyentuh. Salah satunya adalah cerita tentang kuda milik nenek Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia) yang tertembak saat perang. 

Sang nenek kemudian marah besar dan memarahi langsung Residen Belanda di Padang, menunjukkan keberanian rakyat Minangkabau, bahkan dari kalangan perempuan. 

Menurut penulis Amrin Imran, nenek Hatta memang dikenal sebagai sosok yang tegas dan mudah marah dalam membela kebenaran. 

Kebijakan belasting (pajak langsung) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda memicu perlawanan di berbagai wilayah di Minangkabau, tidak hanya di Kamang, tetapi juga di Manggopoh.***


Posting Komentar untuk "Perang Kamang 1908"