Negara Indonesia sudah sejak lama mendapat pengaruh dari agama dan kebudayaan Hindu-Buddha, yang dimulai sejak sekitar abad pertama hingga abad 15 Masehi.
Agama dan kebudayaan Hindu-Budha datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan antara India dan wilayah Nusantara, dibawa terutama oleh para pedagang dan pendeta langsung dari India.
Pulau Sumatera merupakan wilayah paling utama dari wilayah Nusantara, sehingga tak heran jika banyak peninggalan kebudayaan Hindu-Budha di Pulau Sumatera, seperti di wilayah Sumatera Barat.
Berikut ini contoh hasil peninggalan agama dan kebudayaan masa Hindu-Budha yang dapat kita jumpai di wilayah Sumatera Barat:
1. Candi Pancahan
Gambar. Reruntuhan Candi Pancahan
Candi Pancahan merupakan sebuah situs candi yang terletak di Jorong Pancahan, Kecamatan Karau, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Candi ini diperkirakan peninggalan kebudayaan masa Hindu dan Budha.
Candi Pacahan terdiri dari dua struktur, yaitu candi Induk (Cani Pancahan I) dan Candi perwara (Candi Pancahan II), yang dibangun saling berhadap-hadapan dan dikelilingi parit.
Keberadaan candi ini diketahui pada awal tahun 1990-an, tim arkeologi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar melakukan ekskavasi pada tahun 1992.
2. Candi Tanjung Medan
Candi Tanjungmedan merupakan situs purbakala yang terletak di Dusun Tanjungmedan, Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Meskipun keberadaannya telah lama diketahui oleh masyarakat setempat, upaya pemugaran candi ini baru mulai dilakukan oleh pemerintah sekitar tahun 1990-an.
Diperkirakan, Candi Tanjungmedan merupakan peninggalan kebudayaan Hindu atau Buddha. Dugaan ini diperkuat oleh penamaan lokasi candi yang dikenal dengan sebutan Biaro, yang berasal dari kata biara atau vihara. Saat ini, seluruh penduduk yang tinggal di sekitar candi beragama Islam dan tidak mengetahui secara pasti sejarah keberadaan candi tersebut.
Di situs Candi Tanjungmedan terdapat dua bangunan candi yang terbuat dari batu bata, dengan ukuran bata yang relatif lebih besar dibandingkan dengan bata yang biasa digunakan oleh masyarakat saat ini. Kedua bangunan tersebut menyerupai altar pemujaan dan kini telah direkonstruksi serta dilengkapi dengan atap pelindung, mengingat banyaknya batu bata asli yang telah rusak atau hancur. Selain itu, area di sekitar candi juga telah dipagari dengan baik untuk menjaga dan melindungi situs dari kerusakan.
3. Candi Padang Roco
Gambar. Candi Padang Roco
Candi Padangroco merupakan situs bersejarah peninggalan Kerajaan Melayu yang terletak di Jorong Sungai Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Keberadaannya menjadi bukti bahwa lokasi tersebut pernah menjadi bagian penting dari wilayah Kerajaan Melayu. Situs ini telah ditemukan sejak zaman penjajahan Belanda dan terdiri atas empat reruntuhan candi, yang menunjukkan betapa kawasan ini dulunya merupakan pusat aktivitas keagamaan atau pemerintahan.
Secara fisik, Kompleks Candi Padangroco terbuat dari susunan bata dan terdiri atas empat candi, tiga di antaranya yakni Candi Padangroco I, II, dan III telah berhasil digali dan dipugar. Sementara itu, satu candi lainnya masih dalam proses ekskavasi atau belum sepenuhnya dipugar.
Candi Padangroco I merupakan candi terbesar dalam kompleks ini, berdenah bujursangkar dengan ukuran 21 x 21 meter. Struktur kaki candi tersusun dari 22–26 lapis bata setinggi 90 cm, sementara bagian tengahnya berisi tanah urugan setinggi 3 meter. Fondasinya terdiri dari campuran pasir, kerikil, dan kerakal batu setebal 80 cm. Candi ini berorientasi barat daya-timur laut (azimut 30° dari utara-selatan) dan memiliki tangga di sisi barat daya. Saat ini, Candi Padangroco I telah selesai dipugar.
Sebagai candi perwara, Candi Padangroco II berukuran lebih kecil (4,40 x 4,40 m) dengan denah bujursangkar. Kaki candi yang tersisa memiliki tinggi 1,28 m dan terbuat dari susunan bata. Mirip dengan candi induk, candi ini juga berorientasi barat daya-timur laut, dengan pintu masuk dan tangga menghadap ke sisi barat.
Candi Padangroco III memiliki struktur unik yang terdiri dari dua bangunan: sebuah candi bujursangkar (8,50 x 8,50 m) dan sebuah maṇḍapa persegi panjang (13,50 x 8,50 m). Keduanya tampak menyatu membentuk bangunan memanjang berukuran 22 x 8,50 m. Candi ini berorientasi barat daya-timur laut (azimut 10°), meski tangga atau pintu di sisi barat dayanya tidak ditemukan. Seperti candi lainnya, material utama yang digunakan adalah bata.
Selain Candi Padangroco 1, 2, dan 3, di sekitar kompleks juga ditemukan peninggalan lain berupa parit kuno. Parit ini membentang dari arah barat, menyambung ke utara, dan berakhir di sisi timur sebelum bermuara ke Sungai Batanghari.
4. Candi Bukit Awang Maumbia
Candi Awang Maombiak terletak di Jorong Kampung Baru, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Malayu Dharmasraya yang berlatar belakang Hindu/Buddha, menjadi bukti penting perkembangan peradaban kuno di wilayah tersebut.
Situs ini telah diteliti oleh berbagai institusi arkeologi, termasuk Puslitarkenas, Balar Sumatera Utara, dan BPCB Sumatera Barat. Ekskavasi terakhir dilakukan pada tahun 2015 oleh BPCB Sumatera Barat, yang berhasil mengungkap struktur dasar candi yang masih tersisa.
Bangunan candi yang masih bertahan hanya terdiri dari bagian kaki candi dan pondasinya. Kaki candi tersusun dari dua lapis bata dasar yang langsung bersentuhan dengan tanah, dilapisi oleh struktur berbentuk empat persegi panjang setinggi 8 lapis bata. Kaki utama candi berukuran 12 x 4,5 meter dengan orientasi barat-timur di sisi selatan.
Pada lapis ketujuh ke atas, struktur candi mengalami pelebaran ke arah utara sepanjang 7,5 meter dengan mempertahankan panjang 12 meter. Temuan penting berupa makara menunjukkan indikasi adanya tangga masuk candi. Sayangnya, posisi pasti dari profil candi lainnya belum dapat diidentifikasi.
Berdasarkan perbandingan dengan Candi Padang Roco yang berada di wilayah sama, dapat diasumsikan bahwa tangga masuk Candi Awang Maombiak kemungkinan besar terletak di sisi utara, menghadap ke Sungai Batanghari. Hal ini memperkuat karakteristik arsitektur candi-candi di wilayah Dharmasraya yang sering mengorientasikan bangunan ke arah sungai.
5. Batu Basurek Prasasti Raja Adityawarman
Gambar. Batu Basurek Prasasti Raja Adityawarman
Batu Basurek (Batu Bersurat) merupakan prasasti bersejarah khas Sumatera Barat, terutama di wilayah Pagaruyung dan Tanah Datar. Dalam bahasa Minang, "basurek" berarti batu bertulis yang menjadi media pencatatan informasi penting kerajaan. Peninggalan ini menjadi bukti material kejayaan peradaban Melayu Kuno sekaligus sumber sejarah berharga bagi masyarakat Minangkabau.
Prasasti ini berisi catatan vital seperti silsilah kerajaan, ketatanegaraan, batas wilayah, hingga peristiwa penting. Raja-raja masa lalu menggunakan media batu karena sifatnya yang awet, mampu bertahan berabad-abad. Aksara yang digunakan umumnya Pallawa, mencerminkan pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada masa Kerajaan Melayu.
Raja Adityawarman (1347-1377) dari Kerajaan Pagaruyung merupakan tokoh utama yang meninggalkan banyak Batu Basurek. Prasasti-prasastinya berfungsi sebagai: (1) legitimasi kekuasaan melalui pencatatan silsilah, (2) dokumen resmi keputusan kerajaan, dan (3) penanda ekspansi wilayah kekuasaan.
6. Prasasti Kubu Sutan (Lubuk Layang)
Prasasti Kubu Sutan merupakan salah satu tinggalan penting dari masa Hindu-Buddha di Indonesia. Prasasti ini menyebutkan dua tokoh utama, yaitu Yauwaraja Bijayendrawarman dan Jayawarman (Jayendrawarman), yang diduga memiliki hubungan erat sebagai raja dan penerusnya. Disebutkannya kematian Jayawarman di bagian tengah prasasti diikuti oleh pemujaan Bijayendrawarman di Pitamahadara, Sri Indrakila purwatapuribhaya, mengindikasikan adanya suksesi kekuasaan.
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970-an di bawah pohon beringin yang kini sudah tidak ada. Lokasinya berada sekitar 10 meter dari Sungai Tingkaran di sebelah tenggara. Terbuat dari batu andesit berbentuk persegi, prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi dengan campuran bahasa Sanskerta dan Melayu Kuno. Ukurannya relatif besar (80 × 50 × 18 cm), namun sebagian terpendam dalam tanah dan miring ke arah selatan.
Sayangnya, prasasti ini mengalami kerusakan signifikan: bagian atasnya patah dan bekas terbakar, menghilangkan beberapa baris teks. Saat ini, hanya tersisa 10 baris di sisi barat dan 7 baris di sisi timur. Untuk melindunginya, kini prasasti telah diberi cungkup dan pagar. Kerusakan ini menyulitkan pembacaan lengkap, tetapi sisa teks yang ada tetap menjadi sumber sejarah berharga.
Situs Prasasti Kubu Sutan relatif mudah diakses. Setelah menggunakan kendaraan roda dua atau empat, pengunjung hanya perlu berjalan kaki sekitar 30 meter melalui jalan yang sudah disemen. Lokasinya yang dekat dengan sungai dan bekas pohon beringin menambah nilai historisnya.
Prasasti ini tidak hanya penting sebagai bukti keberadaan kerajaan masa lalu tetapi juga memperlihatkan perpaduan budaya Sanskerta dan Melayu Kuno dalam tradisi tulis. Upaya pelestarian yang telah dilakukan diharapkan dapat menjaga warisan ini agar tetap dapat dipelajari oleh generasi mendatang. ***
Posting Komentar untuk "Peninggalan Masa Hindu dan Budha di Daerah Provinsi Sumatera Barat"