Sejarah Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil atau dikenal dengan APRA ialah aksi makar terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Raymond Westerling.
Anggota APRA hampir semua adalah prajurit Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) dan Koniklijk Leger (KL) yang dipersenjatai.
Latar Belakang Pemberontakan APRA
Pemberontakan APRA didalangi oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia. Golongan ini berupaya untuk mempertahankan berdirinya Negara Pasundan dengan APRA sebagai pasukan militernya.
Pembubaran Negara Pasundan tidak terlepas dari kuatnya tuntutan rakyat Republik Indonesia Serikat yang menginginkan kembali kebentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga satu persatu negara bagian RIS memilih bergabung dengan NKRI.
Akibatnya kelompok yang mendukung Belanda merasa terancam karena mereka menginginkan Indonesia terpecah belah melalui negara-negara bagiannya dalam Republik Indonesia Serikat.
Pemberontakan ini diberi nama Ratu Adil agar mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Sebagaimana dalam kepercayaan orang Jawa ada ramalan Jayabaya, bahwa nama Ratu Adil dikatakan sebagai orang yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Pembantaian Rakyat Sulawesi Selatan oleh Raymond Westerling
Raymond Westerling lahir di Istanbul, Turki sehingga sering dijuluki "Si Turki". Pada tahun 1941 Raymond Westerling masuk dinas militer di Kanada. Ia bersama 48 orang Belanda lainnya mendapat kesempatan untuk latihan militer khusus di Commando Basic Training Center di Achnacary, Skotlandia.
Di pusat pelatihan militer ini Raymond Westerling berhasil menjadi instruktur dalam satuan militer Belanda yang memiliki keterampilan khusus, seperti kemampuan pertempuran dengan tangan kosong serta penyergapan dan pelumpuhan lawan.
Dalam karir miliernya ia pernah bertugas bersama Admiral Lord Louise Mountbatten, panglima militer Inggris dari Southeast Asia Command (Komando Asia Tenggara) yang bermarkas di India.
Tanggal 14 September 1945 Raymond Westerling ditugaskan ke Indonesia dan mendarat di Medan untuk membantu Letnan C. A. U. Brongeest, dari kesatuan angkatan laut Belanda dalam mengoordinasikan para tawanan Sekutu.
Kemudian tanggal 5 Desember 1946, Raymond Westerling beserta pasukan khusus RST (Regiment Speciale Troepen) ditugaskan di Makkasar untuk meredam perlawanan rakyat Sulawesi Selatan.
Raymond Westerling terkenal sadis, ia tidak segan-segan membunuh warga sipil. Pembantaian terhadap warga sipil mencapai ribuan jiwa. Bahkan, hingga kini belum terdapat kejelasan tentang berapa jumlah rakyat Sulawesi yang meninggap akibat keganasan pasukan Westerling tersebut.
Delegasi Indonesia pada tahun 1947 melaporkan kepada Dewan Keamanan PBB korban pembantaian yang dilakukan oleh Raymond Westerling mencapai 20.000 hingga 40.000 jiwa. Sementara, menurut pihak Westerling hanya 600 orang.
Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan APRA dimulai pada tanggal 23 Januari 1950, 500 orang tentara digerakkan oleh Westerling untuk menyerang kota Bandung. Pasukan Westerling menembak setiap anggota TNi yang mereka jumpai di jalan-jalan.
Markas Staf Divisi Siliwangi juga mereka kuasai setelah membunuh hampir semua prajurit jaga yang berjumlah sekitar 15 orang serta Letnan Kolonel Lembong.
Diperkirakan jumlah korban serangan pasukan APRA berjumlah 79 anggota APRIS dan banyak penduduk sipil ikut menjadi korban.
Pasukan APRA merencanakan gerakannya hingga ke Jakarta. Di Jakarta mereka berencana menjalankan aksinya pada tanggal 24 Januari 1950 dibantu oleh Sultan Hamid II.
Di Jakarta mereka bertujuan untuk menyerang gedung tempat kabinet bersidang. Bahkan, mereka juga merencanakan untuk menangkap dan membunuh beberapa menteri kabinet, seperti Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Namun, aksi mereka gagal karena terciup oleh aparat intelejen.
Penumpasan Pemberontakan APRA
Upaya penyelesaian diupayakan melalui jalur perdamaian dengan perundingan antara Perdana Menteri RIS dan Komisaris Tingi Belanda perihal gerakan APRA di Jakarta.
Dilakukan juga perundingan antara Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo dan Panglima Divisi C tentara Belanda Mayor Jenderal Engels. Pihak Belanda bersedia mendesak APRA untuk menghentikan aksinya.
Namun, gerakan APRA tidak mau menghentikan bahkan konfliknya makin meluas hingga ke Jakarta.
Selain upaya perdamaian, penyelesaian pemberontakan APRA juga dilakukan melalui operasi militer yang dilakukan oleh Angkatan Perang RIS (APRIS). Di Bandung operasi militer mendapat dukungan dari rakyat. Sementara, di Jakarta salah satu tokoh APRA yaitu Sultan Hamid II berhasil di tangkap pada tanggal 4 April 1950.
Namun, Kapten Raymond Westerling berhasil melarikan diri dengan menaikki pesawat Catalina ke luar negeri pada tanggal 1950 Februari 1950. ***
0 Komentar