![]() |
Gambar. Monumen Peringatan Korban PKI Madiun 1948 |
PKI (Partai Komunis Indonesia) mengambil langkah radikal dalam upaya untuk mengubah Indonesia menjadi negara komunis yang berafiliasi dengan Uni Soviet. Pemberontakan ini ditandai dengan serangkaian kekerasan dan pengambilalihan wilayah, yang menimbulkan ketidakstabilan di kawasan tersebut.
Namun, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan dukungan militer yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, berhasil menumpas pemberontakan ini dalam waktu yang relatif singkat. Musso tewas dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah, dan para pengikut PKI yang tersisa ditangkap atau melarikan diri.
Peristiwa ini menjadi salah satu sejarah penting di Indonesia karena menunjukkan ketegasan pemerintah dalam menentang upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan mengubah ideologi negara.
Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun
Pemberontakan PKI Madiun diawali dari hasil perundingan Renville. Persetujuan Renville yang ditandatangani pada Januari 1948 memang menimbulkan kekecewaan yang luar biasa terhadap pemerintah Indonesia. Perjanjian ini ditandatangani di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville, dengan tujuan mengakhiri konflik antara Belanda dan Republik Indonesia yang telah berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945.
Salah satu poin utama dalam persetujuan ini adalah adanya garis demarkasi yang dikenal sebagai Garis Van Mook, yang membatasi wilayah kekuasaan Republik Indonesia hanya di beberapa bagian Pulau Jawa dan Sumatera. Akibatnya, wilayah Indonesia yang sebelumnya mencakup Jawa, Sumatera, dan Madura menjadi semakin sempit. Banyak wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Republik Indonesia harus diserahkan kepada Belanda.
Dampak dari persetujuan ini tidak hanya mempersempit wilayah Republik Indonesia, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan pejuang kemerdekaan. Banyak pihak yang merasa bahwa pemerintah Indonesia terlalu mudah menyerah kepada tekanan Belanda dan internasional.
Perjanjian Renville sangat menguntungkan Belanda, baik dari segi politis maupun ekonomis. Wilayah kekuasaan Belanda semakin luas dan daerah-derah yang kaya sumber daya alam menjadi milik Belanda.
Akibatnya, Perdana Menteri Amir Syarifuddin mendapat kecaman hingga akhirnya jatuh dari kursi Perdana Menteri karena mendapat mosi tidak percaya dari parlemen pada tanggal 23 Januari 1948. Kursi jabatan Perdana Menteri Amir Syarifuddin akhirnya digantikan oleh Mohammad Hatta.
Tidak puas mendapat mosi dari Parlemen, Amir Syarifuddin memutuskan untuk menjadi oposisi terhadap kabinet Mohammad Hatta dengan mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Front Demokrasi Rakyat (FDR) merupakan suatu organisasi gabungan dari massa kelompok PSI, Pesindo, Partai Buruh, SOBSI, BArisan Tani Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia.
Perdana Menteri Mohammad Hatta meneruskan kebijakan yang pernah dicanangkan semasa Perdana Menteri Amir Syariffuddin mengenai kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di bidang ketentaraan. Pelaksanaan teknis rasionalisasi ini melibatkan restrukturisasi organisasi militer untuk mengurangi pemborosan sumber daya, mengoptimalkan penggunaan personel, serta memperbaiki prosedur dan operasi militer. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat pertahanan nasional dengan lebih sedikit biaya dan lebih banyak profesionalisme di dalam angkatan bersenjata.
Pada bulan Mei, akhirnya pemerintah melalui Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1948 mengeluarkan kebijakan berisi tentang reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang Republik Indonesia.
Isi peraturan ini diantaranya peleburan divisi-divisi ketentaraan, penguranangan anggota angkatan bersenjata yang saat itu berjumlah 463.000, pembubaran TNI Masyarakat yang jumlahnya mencapai 90.000 orang dimana anggota laskar sebagian besar berideologi komunis dan tidak mau bergabung dengan TNI secara penuh, serta penghapusan jabatan gubernur militer di Surakarta yang berada di bawah kendali FDR. Ribuan prajurit pun yang terkena imbas kebijakan ini merasa kecewa.
Banyak tentara yang dibebastugaskan karena reorganisasi dan rasionalisasi memilih bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR), karena merasa bahwa FDR dapat menjadi wadah untuk memperjuangkan nasib mereka. FDR, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menawarkan ideologi dan platform yang mengkritik kebijakan pemerintah dan TNI saat itu, sehingga menarik simpati dari para tentara yang merasa diabaikan atau dirugikan oleh kebijakan tersebut.
Para tentara ini menganggap bahwa dengan bergabung dengan FDR, mereka dapat memperjuangkan keadilan sosial dan perbaikan kondisi mereka yang dianggap tidak diperhatikan oleh pemerintah. Namun, tindakan ini kemudian memicu ketegangan dan konflik yang berujung pada Pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948.
Jalan Baru Musso
Sebelum insiden Pemberontakan PKI Madiun terjadi, pada tanggal 10 Agustus 1948, seorang tokoh PKI bernama Musso kembali ke Indonesia. Siapakah Musso? Ia adalah tokoh PKI yang pada tahun 1926 melakukan pemberontakan pada pemerintah Hindia Belanda, pemberontakannya paa waktu gagal dan ia melarikan diri ke luar negeri.
![]() |
Gambar. Musso dan Amir Syarifuddin |
Sekembalinya ke Indonesia, Musso menyusun konsep yang disebut dengan "Jalan Baru Musso". Konsep Jalan Baru Musso ini terdiri dari tiga gagasan utama, yaitu:
1. Membentuk Front Nasional untuk menghimpun kekuatan komunis dan non komunis di bawah pimpinan PKI.
2. Mengubah PKI menjadi partai tunggal Marxis-Leninis.
3. Menyesuaikan perjuangan PKI dengan garis perjuangan Komunis Internasional (Komitern).
Pada tanggal 1 September 1948, Musso mengumumkan pembentukan Politbiro PKI yang baru di Madiun. Pembentukan Politbiro ini merupakan salah satu langkah awal Musso dalam melaksanakan Konsep Jalan Barunya, yang bertujuan untuk mengantarkan PKI ke arah revolusi sosialis.
Musso sendiri didapuk sebagai pemimpin baru Politbiro PKI, hal ini menunjukkan pengaruh dan dominasi yang besar dirinya di partai tersebut. Sementara, Amir Syarifuddin, yang sebelumnya merupakan pemimpin PKI, ditugaskan untuk memimpin Sekretariat Pertahanan.
Tokoh-tokoh muda PKI lainnya seperti D.N. Aidit, Lukman, dan Njoto diangkat sebagai Politbiro.
Jalannya Pemberontakan PKI Madiun 1948
Situasi politik di Indonesia sangat tegang dengan ketidakstabilan pasca-perang kemerdekaan dan konflik internal. PKI berusaha memanfaatkan ketidakpuasan buruh dan rakyat untuk melancarkan aksi-aksi pemogokan sebagai upaya mengguncang pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri.
PKI memprovokasi anggota serikat buruh, pemuda, dan tentara dihasut agar bergerak bersama menentang pemerintah. Kekacauan ini mengalami puncaknya pada tanggal 13-16 September 1948.
Diawali dengan bentrokan antara TNI dengan sekelompok orang bersenjata di Solo. Bentrokan ini mengakibatkan dr. Muwardi yang menjadi pemimpin barisan Banteng yang anti FDR diculik dan dibunuh.
Aksi pemogokan para buruh juga terjadi pada salah satu pabrik di Delanggu, pemogokan ini juga mendapat provokasi dari PKI dan FDR. Sebagian besar buruh pabrik Delanggu bergabung dalam Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), yang mana organisasi ini merupakan organisasi resmi yang mewadahi para buruh. Ternyata perkumpulan ini menanamkan motivasi kepada buruh untuk melakukan pemogokkan untuk memprotes pimpinan pabrik untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Semua aksi-aksi pemogokan kerja ini ternyata digerakkan oleh PKI dan FDR sebagai upaya untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintah Republik Indonesia.
Front Demokrasi Rakyat atau PKI di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin pada tanggal 19 September 1948 menyatakan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia.
Ribuan anggota satuan TNI yang memihak Komunis, berhasil menyerang dan menguasai ibu Kota Madiun dan menjadikannya sebagai ibu kota pemerintahan Negara Republik Soviet Indonesia.
Dalam waktu singkat, PKI berhasil menguasai beberapa kota lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Sarangan, Ngawi, Ponorogo, Rembang, dan Purwodadi.
Akhir Pemberontakan PKI Madiun
Untuk mengatasi Pemberontakan PKI Madiun, pemerintah melakukan beberapa cara untuk mengakhirinya diantaranya pertama Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir.
Dalam pidato yang disiarkan melalui radio pada tanggal 19 September 1948, Presiden Soekarno menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih Musso - Amir" atau Soekarno-Hatta.
Artinya, memilih PKI atau setia pada Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno - Hatta. Selanjutnya langkah pemerintah mengatasi pemberontakan PKI Madiun melalui penumpasan dengan operasi militer.
Pemerintah juga melarang penerbitan surat kabar yang berafiliasi ke PKI seperti; Patriot, Bintang Merah, Revolusioner, dan Suara Ibu Kota.
TNI mengerahkan operasi militer untuk menumpas pemberontakan PKI. Gubernur Militer Jawa Timur, Kolonel Sungkono diserahi tugas untuk menyerbu Madiun dari arah Timur.
Sementara dari arah Barat serangan ke Madiun dipimpin oleh Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto. Pada tanggal 30 September 1948, PKI berhasil ditumpas.
Pemimpin PKI, Musso akhirnya tewas tertembak dalam operasi yang dilakukan oleh TNI pada tanggal 31 Oktober 1948 di Samandang, Ponorogo, Jawa Timur. Tokoh-tokoh PKI Madiun seperti Amir Syarifuddin, Suripno dan lainnya berhasil ditangkap di daerah Purwodadi pada tanggal 29 November 1948. ***
Posting Komentar untuk "Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948"