Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

Gambar. Tokoh Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah gerakan separatis yang terjadi di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Gerakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan bertujuan mendirikan negara Islam di Indonesia, yang dikenal sebagai Negara Islam Indonesia (NII). 

Pemberontakan ini dimulai pada tahun 1949 di Jawa Barat dan kemudian menyebar ke beberapa daerah lain seperti Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. DI/TII berusaha melawan pemerintah Indonesia yang baru merdeka, namun akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia pada awal tahun 1960-an.

Latar Belakang Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

Pemberontakan Darul Islam adalah sebuah konflik yang terjadi antara tahun 1949 dan 1962 yang melibatkan gerakan Negara Islam Indonesia (NII), umum dikenal sebagai Darul Islam, dalam usaha untuk membentuk negara Islam di Indonesia. Konflik ini dimulai ketika Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, seorang mantan nasionalis Indonesia, menolak mengakui Republik Indonesia yang baru merdeka. Sebagai hasil dari penolakannya, pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat.

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia disebabkan paska terjadinya perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Dalam perjanjian ini, wilayah Jawa Barat tidak lagi menjadi bagian dari Republik Indonesia, melainkan menjadi wilayah Belanda. Kondisi ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang merasa bahwa keputusan tersebut merugikan perjuangan mereka.

Hasil perjanjian ini mengharuskan Divisi Siliwangi, pasukan militer Indonesia, untuk meninggalkan Jawa Barat dan berpindah ke Jawa Tengah. Langkah ini dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di mata kelompok-kelompok Islam militan.

Tujuan Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malangbong, Jawa Barat. Melalui gagasan-gagasannya, Kartosuwiryo berusaha mengubah konsep tata negara Republik Indonesia menjadi tata negara berbasis Islam. Usaha ini tentu saja menimbulkan berbagai reaksi, terutama dari kalangan pemerintah pusat. Pemerintah melihat gerakan ini sebagai ancaman terhadap integritas dan kedaulatan negara Republik Indonesia yang baru saja merdeka.

Pemberontakan Melebar Keberbagai Wilayah

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia meluas keberbagai wilayah di Indonesia, seperti:

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Tengah

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu'dz Abdurachman, yang dikenal juga sebagai Kyai Somalangu. Amir Fatah, yang sebelumnya merupakan komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto, menyatakan bergabung dengan DI/TII pada 23 Agustus 1949 di Desa Pangarasan, Tegal. Setelah itu, ia diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.

Di Kebumen, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Kyai Somalangu melalui Angkatan Umat Islam (AUI). Kedua gerakan tersebut kemudian bergabung dengan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo, memperkuat posisi pemberontakan di Jawa Tengah. Situasi semakin kuat setelah Batalion 624 membelot dan bergabung dengan DI/TII di Kudus dan Magelang pada Desember 1951.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Mudzakar. Setelah perang kemerdekaan, Kahar kembali ke kampung halamannya di Sulawesi Selatan dan memimpin berbagai laskar perjuangan di sana yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan Kahar terhadap kebijakan pemerintah mengenai rasionalisasi anggota KGSS untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Alasan utama pemberontakan Kahar Mudzakar adalah ketidakpuasan terhadap rasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah menetapkan seleksi atas anggota KGSS untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Dalam suratnya pada 30 April 1950, Kahar meminta agar semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Namun, pemerintah tidak dapat memenuhi permintaan tersebut dan memilih menyalurkan anggota gerilyawan ke Korps Cadangan Nasional.

Kahar Mudzakar kemudian diberi pangkat Letnan Kolonel. Namun, pada saat pelantikannya pada 17 Agustus 1951, dia dan pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa senjata. Pada Januari 1952, dia menyatakan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosuwirjo.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Kalimantan Selatan

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari gerakan yang lebih luas yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat pada akhir 1940-an hingga awal 1960-an. 

Di Kalimantan Selatan, pemberontakan ini dipimpin oleh Ibnu Hajar. Pemberontakan ini berlangsung dari tahun 1950-an hingga 1960-an dan merupakan bagian dari upaya untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.

Ibnu Hajar merupakan mantan anggota TNI, ia membelot dan memimpin gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan. Gerakan ini melakukan berbagai aksi, termasuk serangan terhadap pos-pos militer dan pembunuhan pejabat pemerintah. 

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia berhasil menumpas pemberontakan ini melalui operasi militer yang intensif. Ibnu Hajar ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1965, yang menandai berakhirnya gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Aceh

Pemberontakan Darul Islam (DI) di Aceh adalah bagian dari gerakan Darul Islam yang lebih luas di Indonesia, yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. 

Pemberontakan ini dipimpin oleh Daud Beureueh, seorang mantan gubernur militer Aceh, yang merasa kecewa atas kebijakan pemerintah pusat dan kurangnya otonomi bagi Aceh.

Pemberontakan DI di Aceh dimulai pada tahun 1953, ketika Daud Beureueh secara resmi menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). 

Gerakan ini mendapat dukungan dari banyak penduduk Aceh yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat. Daud Beureueh dan pasukannya melakukan serangkaian serangan terhadap pos-pos militer dan instansi pemerintah di Aceh.

Namun, pada awal 1960-an, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno berhasil meredam pemberontakan ini melalui serangkaian operasi militer dan negosiasi. 

Salah satu langkah penting yang diambil pemerintah adalah memberikan status daerah istimewa kepada Aceh pada tahun 1959, yang memberikan otonomi lebih besar di bidang agama, adat, dan pendidikan. 

Langkah ini membantu meredakan ketegangan dan mengakhiri pemberontakan DI di Aceh.

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan gerakan separatis yang terjadi di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Gerakan ini dipimpin oleh Kartosuwiryo dan bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. 

Pemberontakan ini dimulai pada tahun 1949 di Jawa Barat dan kemudian menyebar ke berbagai daerah lain seperti Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Pemerintah Indonesia melakukan berbagai operasi militer untuk menumpas pemberontakan ini. Setelah bertahun-tahun konflik, DI/TII berhasil ditumpas pada tahun 1962 dengan penangkapan dan eksekusi Kartosuwiryo. 

Pemberontakan ini meninggalkan dampak yang signifikan terhadap keamanan dan stabilitas negara serta menunjukkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. ***

Posting Komentar

0 Komentar